Istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, tentu bukan istilah yang asing di telinga kita, karena merupakan istilah yang diambil dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala ketika menyebut Negeri Saba’ yang pada waktu itu indah dan subur alamnya, dengan penduduk yang selalu bersyukur atas nikmat yang mereka terima. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Sungguh bagi Kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Rabb) di kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan:) “Makanlah dari rizki yang dianugerahkan Tuhan kalian dan bersyukurlah kepadaNya!’. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr”. [Saba’/34:15].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah, ketika menafsirkan ayat ini, ia mengatakan: “Saba’ adalah (sebutan) raja-raja Negeri Yaman dan penduduknya. Termasuk diantara mereka ialah raja-raja Tababi’ah dan Ratu Bilqis -isteri Nabi Sulaimân-. Dulu, mereka berada dalam kenikmatan dan kebahagiaan (yang meliputi) negerinya, kehidupannya, kelapangan rizkinya, tanaman-tanamannya, dan buah-buahannya. Allâh mengutus kepada mereka beberapa rasul, yang menyeru mereka agar memakan rizki yang diberikan-Nya, dan agar bersyukur kepada-Nya dengan mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Keadaan mereka (yang baik) itu terus berlangsung hingga (waktu) yang dikehendaki Allâh, lalu mereka berpaling dari apa yang diserukan kepada mereka, sehingga mereka dihukum dengan datangnya banjir bandang dan terpencar-pencarnya mereka di banyak negeri”[1].
Contents
Makna Lughawi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur
Mengapa Allâh Azza wa Jalla menyebut Negeri Saba’ sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr? Karena dalam bahasa ia berarti “Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun”. Meski istilah singkat namun maknanya padat, dan dapat mewakili semua kebaikan yang dulunya ada pada Negeri Saba’ tersebut, karena “negeri yang baik” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb Yang Maha Pengampun” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala , Rabb alam semesta.
Baldatun Thayyibatun Menurut Para Ahli Tafsir
Asy-Syaukâni rahimahullah di dalam tafsirnya mengatakan: “Maknanya (baldatun thayyibatun) ialah: ini negeri yang baik, karena banyaknya pohon-pohon, dan bagus buah-buahannya”.
Lebih detail lagi Ibnu Zaid rahimahullah menerangkan kebaikan Negeri Saba’: “Di daerah mereka, sama sekali tidak pernah terlihat ada nyamuk, lalat, kutu, kalajengking, dan ular. Apabila seseorang masuk ke dalam dua tamannya, dan meletakkan keranjang di atas kepalanya, maka pada saat keluar, keranjang itu akan penuh dengan beraneka buah-buahan, padahal ia tidak memetiknya dengan tangannya”[2].
Ibnu Katsîr rahimahullah juga mengatakan: “Para ahli tafsir yang lain mengatakan, dahulu di negeri mereka sama sekali tidak ada lalat, nyamuk, kutu, dan hewan-hewan yang berbisa. Hal itu karena cuaca yang baik, alam yang sehat, dan penjagaan dari Allâh, agar mereka mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya”[3].
Wa Rabbun Ghofur Menurut Ahli Tafsir
Muqâtil rahimahullah, ketika menafsirkan firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala “wa rabbun ghafur”, ia mengatakan: “Maknanya, Rabb kalian adalah Rabb yang Maha Mengampuni dosa-dosa, jika kalian mensyukuri rizki pemberian-Nya”[4].
At-Thabari rahimahullah mengatakan, “Rabb kalian adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian mentaati-Nya”[5].
Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan: “Yakni (Rabb kalian) adalah Rabb Yang Maha Pengampun, jika kalian terus-menerus dalam mentauhidkan-Nya”[6].
Nukilan-nukilan di atas menunjukkan bahwa Negeri Saba’ merupakan negeri yang alamnya baik dan penduduknya shalih, sehingga mereka menerima kenikmatan sangat luar biasa tersebut. Namun karena akhirnya perilaku mereka itu berubah dan luntur, maka turunlah azab atas mereka yang menghapuskan kenikmatan-kenikmatan yang sebelumnya mereka terima. Ini merupakan pelajaran sangat berharga bagi umat manusia setelahnya, dan merupakan petunjuk nyata dari firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ ۖ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Sesungguhnya jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat-Ku) untuk kalian. Namun bila kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sungguh azabku sangat berat. [Ibrâhîm/14:7].
Dari nukilan tersebut kita juga dapat mengambil kesimpulan, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur adalah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya. Secara lebih luas, ialah sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat, wallâhu a’lam.
Hakikat dan Ciri-Cirinya
Hakikat baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur merupakan keadaan negeri yang menjadi dambaan dan impian seluruh manusia. Yaitu sebuah negeri yang memiliki gambaran sebagai berikut.
Negeri yang selaras antara kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Negeri yang penduduknya subur dan makmur, namun tidak lupa untuk bersyukur.
Negeri yang seimbang antara kebaikan jasmani dan rohani penduduknya.
Negeri yang aman dari musuh, baik dari dalam maupun dari luar.
Negeri yang maju, baik dalam hal ilmu agama maupun ilmu dunianya.
Negeri dengan penguasa yang adil dan shalih, dan penduduk yang hormat dan patuh.
Negeri yang di dalamnya terjalin hubungan yang harmonis antara pemimpin dan masyarakatnya, yaitu dengan terwujudnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Namun, terbentuknya keadaan negeri “impian” ini tidak semudah membalik tangan. Karena negeri “impian” ini merupakan sesuatu yang istimewa, tentu memerlukan perjuangan dan usaha keras dalam mewujudkannya. Bahkan perjuangan dan usaha keras saja tidak cukup, tetapi harus dibarengi pula dengan bimbingan yang jelas dari Allâh Azza wa Jalla , dikarenakan beberapa hal berikut.
Meski manusia mengetahui maslahat dunia, terutama yang berhubungan dengan sisi jasmani, tetapi pengetahuan itu hanya sebagiannya saja. Sehingga masih ada banyak hal tentang maslahat dunia yang tidak diketahui manusia, terutama yang berhubungan dengan sisi rohani.
Seringkali akal manusia terkecoh ketika menilai sebuah maslahat, sehingga seringkali suatu yang membahayakan dianggap sebagai bermanfaat, dikarenakan keterbatasan kemampuan akal manusia.
Akal manusia tidak akan mampu mengetahui maslahat yang berhubungan dengan akhirat, padahal kehidupan akhirat merupakan tujuan utama dan target akhir, bahkan masanya akan selama-lamanya.
Dari sini kita bisa mengerti arti penting syariat agama bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan pribadi maupun untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan telah terbukti dalam sejarah kehidupan manusia, bahwa mayoritas negara-negara yang kuat kekuasaannya dan luas wilayahnya itu asal-muasalnya dari agama.
Sejarawan Islam terkemuka, Ibnu Khaldun rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya negara-negara yang luas wilayahnya dan kuat kekuasaannya, itu asal-usulnya dari agama, baik agama yang bertolak dari kenabian, maupun agama yang bertolak dari ajakan kepada yang haq. Alasannya, kekuasaan hanya bisa didapat melalui penaklukan, dan penaklukan hanya terjadi akibat fanatisme dan kesamaan tujuan. Padahal hati manusia tidak dapat disatukan dan disamakan kecuali dengan pertolongan Allâh dalam rangka menegakkan agama-Nya. Allâh Ta’ala berfirman :
لَوْاَنْفَقْتَ مَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مَّآ اَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوْبِهِمْ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ اَلَّفَ بَيْنَهُمْۗ اِنَّهٗ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Andai engkau mengerahkan seluruh kekayaan yang ada di bumi, niscaya engkau takkan dapat menyatukan hati mereka, akan tetapi Allah-lah yang menyatukan mereka. Sesungguhnya Allâh Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. [Al-Anfal/8 : 63]
Rahasia (dari hal ini) ialah, karena bila hati manusia saling berhasrat dengan suatu kebatilan dan condong kepada dunia, maka selanjutnya akan terjadi persaingan dan perselisihan yang meluas. Namun jika hati tersebut diarahkan untuk membela kebenaran, mengesampingkan dunia, menolak kebatilan, dan menghadap kepada Allah, maka ia akan bersatu. Dengan begitu, persaingan akan hilang dan akan sedikit perselisihan. Kerjasama dan tolong-menolong menjadi membaik, dan pengaruh kekuasaan semakin meluas, sehingga negara pun menjadi besar”[7].
Referensi : https://almanhaj.or.id/4276-baldatun-thayyibatun-wa-rabbun-ghafur.html