Islam itu agama yang berisi aturan. Seluruh aspek di dalam Islam itu diatur sedemikian rupa untuk kemaslahatan kaum muslimin. Bahkan, memukul anak dan istri juga ada aturannya. Oleh karena itu, dalam Islam, sangat melarang kekerasan. Sehingga, Islam tidak melegalkan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dengan alasan ada ayat yang menerangkan untuk memukul istri yang membangkang atau ada hadis yang menyuruh untuk memukul anak karena tidak mau salat.
Demikianlah, jika membaca Al-Qur’an atau hadis hanya sepotong-sepotong disertai dangkalnya pemahaman agama. Sebagaimana orang yang hanya membaca ayat,
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ
“Maka, kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat.” (QS. Al-Ma’un: 4)
Padahal, orang celaka dalam ayat selanjutnya adalah orang yang lalai dalam salatnya (orang yang tidak benar salatnya).
Aturan memukul di dalam Islam itu sangat ketat dan detail. Ada beberapa aturan memukul yang harus diperhatikan agar dalam memukul sesuai dengan syariat yang telah ditentukan terkait jenis, tempat, dan jumlahnya. Berikut ketentuannya.
Contents
- 1 Pertama, pukulan adalah alternatif terakhir
- 2 Kedua, jenis pukulannya ringan dan tidak melukai
- 3 Ketiga, tidak boleh memukul wajah (kepala)
- 4 Keempat, jumlah pukulan tidak berlebihan dan maksimal 10 kali
- 5 Kelima, tidak boleh memukul saat emosi memuncak
- 6 Keenam, disesuaikan dengan kadar kesalahan
- 7 Ketujuh, usia dipukul minimal sudah tamyiz
- 8 Kedelapan, pukulan harus berefek positif (menimbulkan efek jera)
- 9 Kesembilan, tidak memukul ketika anak emosi dan menangis
- 10 Kesepuluh, alat yang digunakan tidak boleh melukai
- 11 Kesebelas, hentikan pukulan saat anak menyadari kesalahan
- 12 Nasihat akhir, “Ajari anak, bukan hajari anak.”
Pertama, pukulan adalah alternatif terakhir
Jadi, yang namanya pukulan, bukan menjadi satu-satunya cara dan prioritas utama dalam mendidik anak dan istri. Ketika cara pertama, kedua, dan seterusnya yang halus tidak memberi efek dan perubahan, maka barulah digunakan cara terakhir, yaitu pukulan.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلَّٰتِى تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهْجُرُوهُنَّ فِى ٱلْمَضَاجِعِ وَٱضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا۟ عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Istri-istri yang kalian khawatirkan nusyuznya (melakukan pembangkangan sehingga tidak memenuhi hak suami), maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka (tinggalkan mereka untuk tidur sendiri), dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka mentaati kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya (merugikan mereka). Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (QS. An-Nisa’: 34)
Dari ayat di atas, dijelaskan tata cara yang dilakukan untuk menasihati istri yang durhaka dan tidak taat. Yang pertama adalah menasihati, lalu mendiamkan (tidak diajak bicara) jika nasihat tidak dihiraukan. Jika masih saja tidak berefek (mempan), barulah dipukul. Dan pukulan ini jangan sering dilakukan karena akan membuat anak menjadi stres dan trauma.
Kedua, jenis pukulannya ringan dan tidak melukai
Ada beberapa macam jenis pukulan. Ada yang ringan, sedang, dan berat. Maka, yang dianjurkan dalam Islam adalah memukul dengan pukulan yang ringan dan tidak menimbulkan luka.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Ahmad, 1: 313 no. 2867 dan Ibnu Majah no. 2431. Lihat Al-Arba’in no. 32.)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menerangkan bahwa jika seorang suami terpaksa memukul istri (atau anaknya), hendaklah ia memukul dengan pukulan yang ringan sehingga tidak membuat si istri (atau anak) menjauh ataupun dendam kepada suaminya. (Lihat Fathul Bari, 9: 377)
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah juga berkata bahwa pukulan tersebut adalah pukulan yang tidak melukai dan mendatangkan perbaikan, bukan mencelakakan. (Lihat Liqa Al-Bab Al-Maftuh, 95: 18)
Ketiga, tidak boleh memukul wajah (kepala)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا ضرَب أحَدُكم فليتَّقِ الوَجْهَ
“Jika kalian memukul, maka jauhi wajah (kepala).” (HR. Abu Daud no. 4493)
Hal tersebut karena kepala adalah bagian tubuh yang terhormat dan banyak organ sensitif yang berada di area wajah.
Keempat, jumlah pukulan tidak berlebihan dan maksimal 10 kali
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ إِلَّا فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ تَعَالَى
“Seseorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, kecuali dalam masalah had (dosa besar yang sudah ditentukan kadar hukumannya: rajam, penggal, potong tangan).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika dipukul sekali dan anak sudah jera, maka tidak boleh ditambah menjadi dua kali. Jika dua kali sudah membuat anak kapok, maka tidak boleh dipukul tiga kali. Jika sudah mencapai sepuluh kali, maka tidak boleh lebih dari itu. Dan apabila ingin melakukan pukulan yang berkali-kali (2-10 kali), maka lokasi yang dipukul harus berpindah-pindah dan tidak di satu titik saja karena bisa membahayakan (saraf). Kemudian antara pukulan pertama dan kedua (atau selanjutnya) diberikan jarak.
Kelima, tidak boleh memukul saat emosi memuncak
Ketika memukul niatnya harus benar, yakni ingin mendidik. Jika niatnya keliru, seperti ingin melampiaskan emosi dan amarahnya, maka alhasil yang muncul adalah dendam yang tertanam. Akhirnya jika itu adalah sang anak, ia bisa melampiaskan dendamnya kepada adiknya, temannya, bahkan orang tuanya kelak ketika jasad sudah menua dan tak berdaya.
Saat memukul, orang tua tidak boleh mengucapkan kata-kata kotor baik berupa cacian atau umpatan untuk melampiaskan kemarahannya. Kemudian, orang yang sedang marah biasanya tidak bisa mengontrol dirinya sehingga menjadikan pukulan itu tidak terkendali. Oleh karenanya, jika seseorang sedang dalam keadaan marah, maka sebaiknya ia diam dulu agar bisa mengendalikan dirinya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَٱلْكَٰظِمِينَ ٱلْغَيْظَ وَٱلْعَافِينَ عَنِ ٱلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ
“Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imron: 134)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَ إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah (dahulu).” (HR. Ahmad, 1: 239)
Dalam sabda beliau yang lain,
لَيْسَ الشَّدِيْدُ باِلصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah.” (HR. Bukhari)
Keenam, disesuaikan dengan kadar kesalahan
Kesalahan itu tidak satu level. Ada yang ringan, sedang, dan berat. Maka dari itu, hukuman yang diberikan juga tidak sama. Jika kesalahan yang dilakukan ringan, tetapi hukuman (pukulan) yang diberikan berat, maka termasuk bentuk kezaliman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اتَّقُوْا اللهَ، وَإِيَّاكُمْ وَالظُّلْمَ، فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bertakwalah kalian semua kepada Allah, dan takutlah kalian dari perbuatan zalim, karena sesungguhnya kezaliman itu akan menjadi kegelapan pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Orang tua adalah sebagaimana dokter yang memberi obat. Tatkala dokter memberi obat, maka dosis yang diberikan disesuaikan dengan tingkat penyakit yang diderita. Jika penyakit parah dan diberikan obat dosis kecil, maka tidak akan memberikan efek. Sebaliknya, jika penyakit yang diderita ringan dan diberikan obat dengan dosis tinggi, maka akan terjadi over dosis. Begitu pula, orang tua harus memberikan hukuman sesuai dengan kadar kesalahannya.
أَنَّ رَجُلًا يُقَالُ لَهُ جُزْءٌ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَهْلِي يُغْضِبُونِي فَبِمَ أُعَاقِبُهُمْ؟ فَقَالَ: «تَعْفُو» ، ثُمَّ قَالَ: الثَّانِيَةَ حَتَّى قَالَهَا ثَلَاثًا قَالَ: «فَإِنْ عَاقَبْتَ فَعَاقِبْ بِقَدْرِ الذَّنْبِ وَاتَّقِ الْوَجْهَ»
Seorang sahabat yang bernama Juz’un datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, terkadang istri atau anakku membuat aku marah. Dengan cara apa aku menghukum mereka?”
Beliau menjawab, “Maafkan!”
Dia mengulangi lagi ucapannya dua hingga tiga kali. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika memang engkau harus menjatuhkan hukuman, maka hukumlah sesuai dengan kadar kesalahan dan hindari wajah.” (HR. Ath-Thabaraniy dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dan dinyatakan dha’if)
Dari ‘Abdullah bin Busr Ash-Shahabi radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
أميّ ألى رسول الله صلّى الله عليه و سلّم بقِطْف من عِنَبٍ فأكلت منه قبل أن أبلغه إيّاه فلمّا جئت به أخذ بأذني، وقال: يا غـدر
“Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau, saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer daun telinga saya (dalam riwayat lain: dan beliau mengusap kepalaku) seraya bersabda, ‘Wahai anak yang tidak amanah.’” (HR. Ibnu Sunni dan An-Nawawi mengambil riwayat ini dalam Al-Adzkar)
Dari sini, dapat diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membiarkan seorang anak tidak bertanggung jawab terhadap amanah yang telah diberikan. Dan sisi lain, beliau menghukum juga dengan tidak berlebihan.
Ketujuh, usia dipukul minimal sudah tamyiz
Tamyiz yaitu sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang berbahaya dan mana yang tidak. Maka, tidak boleh ketika anak di bawah 5 tahun melakukan kesalahan yang remeh, bahkan ia tidak tahu kalau hal tersebut salah, lalu dipukul. Bahkan, sebagian ulama melarang untuk memukul anak di bawah umur 10 tahun, sebagaimana hadis,
مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ ، وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan salat saat usia mereka tujuh tahun. Dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Daud no. 495 dan Ahmad no. 6650)
Kedelapan, pukulan harus berefek positif (menimbulkan efek jera)
Hal ini berdasarkan perkiraan yang kuat. Dilihat dari karakter yang dimiliki anak. Ada anak yang mungkin jika dipukul tambah melawan. Ada pula sebagian anak yang lembut (sensitif) perasaannya. Maka, yang paling paham karakter seorang anak adalah orang tuanya (jika tinggal serumah).
Apabila disangkakan pukulan tersebut tidak menimbulkan efek jera, maka tidak boleh memukul dan harus menggunakan cara lain. (Lihat Qawa’idul Ahkam, 1: 102)
Dalam Liqa Al-Bab Al-Maftuh, (95: 18) dijelaskan bahwa perintah memukul ini dibatasi apabila pemukulan itu mendatangkan manfaat. Karena kadang-kadang, anak kecil dipukul tapi pukulan tersebut tidak bermanfaat. Hanya sekedar menyebabkan jeritan dan tangis yang tidak bermanfaat.
Kesembilan, tidak memukul ketika anak emosi dan menangis
Hendaknya dalam memukul anak tidak di saat si anak akalnya kurang sempurna, semisal ketika ia sedang menangis. (Lihat Al-Bahrur Raiq, 5: 53) Hal ini karena jika memukul anak ketika akalnya kurang sempurna, membuatnya tidak bisa memahami maksud dari pengajaran yang diinginkan, sehingga maslahat yang diharapkan tidak tercapai.
Kesepuluh, alat yang digunakan tidak boleh melukai
Alat pukul bisa berupa tongkat, cambuk, ujung baju yang dianyam menjadi keras atau yang lain, asalkan tidak sampai melukai daging, namun hanya mengenai bagian luar kulit. Alat yang melukai daging semisal benda tajam atau batu, berarti bertentangan aturan memukul dalam syariat Islam. Sebaliknya, alat pukul juga tidak boleh terlalu lunak, tapi pertengahan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عُلِّقُوا السَّوْطَ حَيْثُ يَرَاهُ أَهْلُ الْبَيْتِ، فَإِنَّهُ أَدَبٌ لَهُمْ
“Gantungkanlah cambuk di tempat yang dilihat oleh penghuni rumah, sebab ia menjadi pengajaran bagi mereka.” (HR. Ath-Thabrani, dihasankan dalam Silsilah Al-Hadits Ash-Shahihah no. 1447)
Maksud dari hadis di atas terkait perintah menggantungkan cambuk di rumah bukanlah untuk dipukulkan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memerintahkan untuk melakukan hal tersebut kepada siapa pun dan Nabi tidak pernah melakukannya kepada istri, anak, atau pembantu beliau.
Keberadaan cambuk yang digantung tersebut tujuannya agar mendorong anak-anak untuk taat kepada orang tua, melaksanakan perintah agama, bersikap sopan, serta berakhlak mulia. Bukanlah maksud hadis di atas agar orang tua atau suami sering memukul anggota keluarganya. Namun, supaya sekadar membuat anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan perbuatan buruk dan tercela. (Lihat Nida`un ilal Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hal. 97)
Kesebelas, hentikan pukulan saat anak menyadari kesalahan
Pukulan adalah sarana untuk mencapai tujuan (anak sadar). Jika ketika dipukul sekali anak sudah sadar dan meminta ampun, maka tidak boleh melanjutkan pukulannya. Apalagi ketika si anak sudah menyebut nama Allah, maka harus dihentikan pukulannya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا ضرب أحدكم خادمه فذكر الله فارفعوا أيديكم
“Apabila seseorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian (dari memukulnya).” (HR. Tirmidzi, dalam Kitabul Birri wash Shilah, no. 1873)
Nasihat akhir, “Ajari anak, bukan hajari anak.”
Tingkah laku anak memang terkadang membuat jengkel orang tuanya. Dan perlu diketahui bahwa anak-anak biasanya masih dalam proses pertumbuhan, di mana belum banyak mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Maka, perbanyaklah maklum dan berprasangka baik kepada anak karena ia memang belum mengetahui kalau itu salah atau keliru dan belum mengerti tentangnya. Orang tua harus lebih banyak memaafkan dan mengarahkan anak dalam fase pertumbuhannya, lebih banyak mengajari bukan menghajari anak!
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قَطُّ بيده، ولا امرأة ولا خادما، إلا أن يجاهد في سبيل الله، وما نيِل منه شيء قَطُّ فينتقم من صاحبه، إلا أن ينتهك شيء من محارم الله تعالى، فينتقم لله تعالى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah memukul apa pun dengan tangannya. Ia juga tidak pernah memukul istri-istri dan pelayannya, kecuali apabila beliau berjihad di jalan Allah. Ketika beliau disakiti, beliau sama sekali tidak pernah membalas orang yang menyakitinya, kecuali bila ada larangan Allah yang dilanggar, maka beliau membalas karena Allah.” (HR. Muslim)
Dan bila terpaksa melakukan hukuman, maka selayaknya hal tersebut dilakukan tidak di depan orang lain untuk melindungi kehormatan sang anak atas dirinya dan orang lain.
Sumber: https://muslim.or.id/90420-aturan-memukul-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id